Selain akal, insan juga dibekali hawa nafsu. Nafsu mirip mesin yang selalu mendorong insan untuk melaksanakan sesuatu, sementara logika yaitu tali kekang untuk mengontrol dan mengendalikan harapan tersebut. Kedua hal ini mesti dijaga keseimbangannya.
Memenangkan salah satu keduanya akan berdampak buruk bagi kehidupan manusia. Manusia akan menjadi benda mati bila tidak memiliki nafsu dan sebaliknya, beliau dapat menjelma mesin penghancur kalau logika sudah hilang di dalam dirinya.
Menjinakkan nafsu tentu bukan pekerjaan ringan. Ia lebih sulit dibandingkan mengendalikan kuda liar. Bahkan menaklukan musuh di medan perang jauh lebih ringan ketimbang menaklukan nafsu yang ada di dalam diri kita sendiri. Saking sulitnya mengendalikannya, seorang penyair menendangkan:
كيف إحتراسي من عدوي إذا … كان عدوي بين أضلاعي”
Hatiku selalu mendorongku terhadap sesuatu yang merusakku
Bahkan ia sering kali membuatku sakit
Bagaimana saya mampu membentengi diriku dari musuhku
Sementara musuhku bersembunyi di balik tulang rusukku
Untuk menuju proses keseimbangan tersebut, perlu dilakukan penilaian, evaluasi, dan koreksi atas diri sendiri. Dalam perjalanan kehidupan ini, kira-kira apakah kita pernah salah melangkah, berbuat salah, sudah baikkah tingkah laku kita kepada orang lain?
Pertanyaan kritis mirip ini perlu ditujukan sesekali untuk diri guna menjadikan perbuatan kasatmata pada tahap berikutnya.
Dalam proses introspeksi diri, seseorang juga mesti adil terhadap dirinya. Hal ini sama dikala mengintrospeksi dan mengadili orang lain. Mesti adil dan tidak boleh berat sebelah.
Seseorang insan juga tidak boleh berlebih-lebihan dalam memuja kebaikan yang pernah dilakukannya dan beliau juga tidak boleh menganggap dirinya makhluk paling hina, buruk, dan jelek alasannya pernah melaksanakan kesalahan.
Seberat apapun kesalahan yang dilakukan, cerdik lah dikala menilai. Sebagaimana yang dijelaskan al-Mawardi dalam Adabud Dunia wad Din:
“Prasangka baik terhadap diri sendiri secara berlebihan akan membuat keburukan ‘di pelupuk mata tidak terlihat’, sedangkan terlalu berlebihan berprasangka buruk akan membuat kebaikan diri sendiri ‘di pelupuk mata tidak terlihat’. Cara mirip ini tidak akan menghilangkan keburukan dan tidak mengarahkan kita pada kebaikan. Al-Jahizh mengatakan di dalam al-Bayan, ‘Kita perlu adil dan bijak dalam menilai diri.’”
Setiap insan tentu tidak ada yang tepat dan tidak ada pula insan yang sepanjang detik, menit, dan hari mengerjakan maksiat terus-menerus.
Sudah dimaklumi bahwa perjalanan kehidupan insan selalu diwarnai dengan sifat baik dan buruk. Sebab itu, jangan berlebihan menilai diri.
Apapun hasil evaluasi tersebut, harus diterima dengan tulus agar menjadikan perubahan yang positif. Wallahu a‘lam.
Sumber: nu.or.id