KODE IKLAN DFP 1 Keutamaan 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah | Rahasia Hidup Sehat

Keutamaan 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah

KODE IKLAN 200x200

Oleh: Dr Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar

Imam al-Bukhari dalam shahiihnya meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia bersabda:

مَا الْعَمَلُ فِي أَيَّامِ الْعَشْرِ أَفْضَلُ مِنَ الْعَمَلِ فِيْ هَذِهِ، قَالُوا: وَلاَ الْجِهَادُ؟ فَقَالَ: وَلاَ الْجِهَادُ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَيْءٍ…


“Tidak ada amalan yang lebih utama dari amalan di sepuluh hari pertama Dzulhijjah ini. Mereka bertanya, ‘Tidak juga jihad?’ Beliau menjawab, ‘Tidak juga jihad, kecuali seorang yang keluar menerjang ancaman dengan dirinya dan hartanya sehingga tidak kembali membawa sesuatu pun.’”[1]

Dengan demikian, jelaslah bahwa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah yakni hari-hari dunia terbaik secara mutlak. Hal itu karena ibadah induk berkumpul padanya dan tidak berkumpul pada selainnya. Padanya terdapat seluruh ibadah yang ada di hari lain, ibarat shalat, puasa, shadaqah dan dzikir, namun hari-hari tersebut memiliki keistimewan yang tidak dimiliki hari-hari lain yaitu manasik haji dan syari’at berkurban pada hari ‘Id (hari raya) dan hari-hari Tasyriq.

Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Yang rajih bahwa alasannya yakni keistimewaan bulan Dzulhijjah karena ia menjadi daerah berkumpulnya ibadah-ibadah induk, yaitu shalat, puasa, shadaqah dan haji. Hal ini tidak ada di bulan lainnya. Berdasarkan hal ini apakah keutamaan tersebut khusus kepada orang yang berhaji atau kepada orang umum? Ada kemungkinan di dalamnya.[2]

Dalam Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzulhijjah Terdapat Amalan Berikut Ini.

1. Haji dan umrah. Keduanya termasuk amalan terbaik yang dapat mendekatkan seorang hamba kepada Rabb-nya.

2. Puasa sembilan hari pertama dan khususnya hari kesembilan yang termasuk amalan-amalan terbaik. Cukuplah dalam hal ini sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ

“Puasa hari ‘Arafah yang mengharapkan pahala dari Tuhan dapat menghapus dosa-dosa satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang.”[3]

3. Takbir dan dzikir di hari-hari ini diijabahi (dikabulkan) berdasarkan firman Allah:

وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ

“Dan supaya mereka menyebut Nama Tuhan pada hari yang telah ditentukan” [Al Hajj/22: 28]

4. Disyari’atkan pada hari ini menyembelih kurban dari hari raya dan hari Tasyriq. Ini yakni sunnah Bapak kita, Ibrahim saat Tuhan mengganti anaknya, Isma’il dengan hewan sembelihan yang besar dan juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyembelih dua kambing gemuk lagi bertanduk untuk diri dan umatnya.

5. Sebagaimana juga disyari’atkan pada hari raya kepada seorang muslim untuk bersemangat melakukan shalat, mendengarkan khutbah dan memanfaatkannya untuk mengenal hukum-hukum kurban dan yang berafiliasi dengannya.

6. Disyari’atkan juga pada hari-hari ini dan hari-hari lainnya untuk memperbanyak amalan sunnah, berupa shalat, membaca al-Qur-an, shadaqah, memperbaharui taubat dan meninggalkan dosa dan kemaksiatan, baik yang kecil maupun yang besar.

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Sepuluh hari pertama Dzulhijjah seluruhnya yakni kemuliaan dan keutamaan, amalan di dalamnya dilipatgandakan, dan disunnahkan supaya bersungguh-sungguh dalam ibadah di hari-hari tersebut.”[4]

MAKSUD DARI HARI-HARI YANG DITENTUKAN (AL-AYYAAM AL-MA’LUUMAAT) DAN HARI-HARI YANG BERBILANG (AL-AYAAM AL-MA’DUUDAAT)

Allah berfirman:
وَاذْكُرُوا اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ لِمَنِ اتَّقَىٰ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ


“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Nama Tuhan dalam beberapa hari yang berbilang. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tidak ada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa kau akan dikumpulkan kepada-Nya.” [al-Baqarah/2: 203]

Dan Tuhan Ta’ala berfirman:

لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ ۖ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

“Supaya mereka mempersaksikan banyak sekali manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut Nama Tuhan pada hari yang telah ditentukan atas rizki yang Tuhan telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” [al-Hajj/22: 28]

Para ulama berselisih pendapat dalam maksud dari firman Tuhan di atas perihal hari-hari yang berbilang dan yang ditentukan. Di antara pendapat mereka adalah:

1. Hari-hari yang ditentukan tersebut yakni hari kurban dengan perbedaan di antara mereka apakah itu tiga hari ataukah empat hari.

2. Hari-hari yang ditentukan tersebut yakni sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dari awal bulan hingga hari raya.

3. Hari-hari berbilang yakni hari-hari Tasyriq.

4. Hari-hari yang ditentukan yakni sepuluh hari pertama Dzulhijjah dan hari-hari Tasyriq, berarti mulai awal bulan hingga selesai tanggal tiga belas.

5. Hari-hari yang ditentukan yakni sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah dan hari-hari berbilang yakni hari-hari Tasyriq bersama hari ‘Id.

Ada juga pendapat lemah yang mengatakan bahwa hari-hari yang ditentukan yakni sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan hari-hari berbilang yakni hari-hari penyembelihan. Ini menyelisihi ijma’.

Yang benar bahwa hari-hari yang ditentukan tersebut yakni sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan hari-hari berbilang yakni hari-hari Tasyriq.

Ibnul ‘Arabi rahimahullah mengatakan, “Ulama-ulama kami mengatakan bahwa hari-hari melempar jumrah yakni hari-hari berbilang (ma’duudaat) dan hari-hari penyembelihan yakni hari-hari yang telah ditentukan (ma’luumaat).”[5]

Sedangkan Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Ada yang mengatakan, hari-hari yang ditentukan yakni hari-hari penyembelihan dan ada yang mengatakan ia yakni sepuluh hari pertama Dzulhijjah.”[6]

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma mengatakan bahwa hari-hari yang berbilang yakni hari-hari Tasyriq, dan hari-hari yang ditentukan yakni sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.”[7]

Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fat-hul Baari [8] dan asy-Syaukani dalam Fat-hul Qadiir 9] telah memaparkan pernyataan para ulama dalam duduk perkara ini dan semuanya hampir tidak keluar dari apa yang telah kami sampaikan di atas. Wallahu a’laam.

PERBANDINGAN ANTARA SEPULUH HARI TERAKHIR RAMADHAN DENGAN SEPULUH HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH
Hendaklah seorang muslim mengetahui bahwa membandingkan antara perkara-perkara baik tidak bermaksud merendahkan dari yang lebih utama, bahkan hal ini seharusnya menjadi pendorong untuk melipatgandakan amalan pada hal yang diutamakan dan mengambil keutamaannya sekuat dan semampunya.

Para ulama telah membahas duduk perkara ini dan yang rajih menurut saya -wallaahu a’lam- bahwa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah lebih utama dari sepuluh hari terakhir Ramadhan, dan sepuluh malam terakhir Ramadhan lebih utama dari sepuluh malam pertama bulan Dzulhijjah, itu karena keutamaan malam Ramadhan tersebut dilihat dari adanya malam Qadar dan ini untuk malamnya. Sedangkan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah diutamakan hari-harinya dilihat dari adanya hari ‘Arafah, hari penyembelihan dan hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah).

Syaikhul Islam pernah ditanya perihal perbandingan antara dua waktu tersebut, ia menjawab, “Sepuluh hari pertama Dzulhijjah lebih utama dari sepuluh hari terakhir Ramadhan, sedangkan malam sepuluh terakhir Ramadhan lebih utama dari malam sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.”

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Apabila orang yang mulia lagi cendikia merenungkan balasan ini, tentulah ia mendapatinya sebagai balasan yang cukup dan memuaskan.”[10]

PERBANDINGAN ANTARA DUA HARI RAYA
Para ulama telah membahas seputar permasalahan ini, ada yang mengutamakan ‘Idul Adh-ha atas ‘Idul Fithri dan ada yang sebaliknya. Setelah memaparkan keutamaan dua hari raya dan keduanya termasuk hari paling utama dalam setahun, maka yang rajih yakni ‘Idul Adh-ha lebih utama dari ‘Idul Fithri, karena ibadah dalam ‘Idul Adh-ha yakni sembelihan kurban dengan shalat sedangkan dalam ‘Idul Fithri yakni shadaqah dengan shalat. Padahal terang sembelihan kurban lebih utama dari shadaqah, karena padanya berkumpul dua ibadah yaitu ibadah tubuh (fisik) dan harta. Kurban yakni ibadah fisik dan harta, sedangkan shadaqah dan hadyah hanyalah ibadah harta saja.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan bahwa ‘Idul Adh-ha lebih utama dari ‘Idul Fithri, karena dua hal:

1. Ibadah di hari ‘Idul Adh-ha, yaitu kurban lebih utama dari ibadah di hari ‘Idul Fithri yaitu shadaqah.

2. Shadaqah di hari ‘Idul Fithri ikut kepada puasa, karena diwajibkan untuk membersihkan orang yang berpuasa dari kesia-siaan dan kejelekan dan memberi makan orang miskin serta disunnahkan dikeluarkan sebelum shalat. Sedangkan kurban disyari’atkan di hari-hari tersebut sebagai ibadah tersendiri, oleh karena itu disyari’atkan setelah shalat.

Tuhan -Ta’ala- berfirman perihal yang pertama:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى ٰوَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّىٰ

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat Nama Rabb-nya, lalu dia shalat.” [al-A’laa/87: 14-15]

Dan perihal yang kedua:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu dan berkurbanlah.” [al-Kautsar/108: 2]

Kemudian Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan lagi, “Sehingga shalatnya orang-orang di negeri-negerinya sama kedudukannya dengan jama’ah haji yang melempar jumrah al-‘Aqabah dan sembelihan mereka di negeri-negerinya sama kedudukannya dengan sembelihan hadyu jama’ah haji.”[11]

[Disalin dari kitab Ahkaamul Iidain wa Asyri Dzil Hijjah, Edisi Indonesia Idulfitri Menurut Sunnah Yang Shahih, Penulis Dr Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar, Penerjemah Kholid Syamhudi Lc, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. HR. Al-Bukhari lihat Fat-hul Baari (II/457).
[2]. Fat-hul Baari (II/460).
[3]. HR. Muslim, lihat Shahiih Muslim (II/818-819).
[4]. Al-Mughni (IV/446).
[5]. Ahkaamul Qur-aan (I/140), karya Ibnul ‘Arabi.
[6]. Majmuu’ al-Fataawaa (XXIII/225).
[7]. Tafsiir Ibnu Katsiir (I/244).
[8]. Fat-hul Baari (II/458).
[9]. Fat-hul Qadiir (I/205).
[10]. Majmuu’ al-Fataawaa (XXV/287) dan Zaadul Ma’aad (I/57).
[11]. Majmuu’ al-Fataawaa (XXIII/222).

Sumber: https://almanhaj.or.id/3404-keutamaan-sepuluh-hari-pertama-bulan-dzulhijjah.html
تزوجوا الودود الولود فإني مكاثر بكم الأمم يوم القيامة
close
==[ Klik disini 1X ] [ Close ]==
KODE IKLAN DFP 2
KODE IKLAN DFP 2